Kualitas SDM Indonesia Saat Ini Terancam! Banyak sekali sebenarnya hal-hal yang dapat digali di bangsa ini, selain kekayaan alam juga sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dalam berbagai bidang. Hal yang harus diacungi jempol misalnya SDM Indonesia di bidang pendidikan. Walaupun banyak pernyataan bahwa Indonesia Negara yang memiliki julukan korupsi dan miskin, akan tetapi sebenarnya ada hal yang membanggakan dari Negara ini. Jaman dahulu kala, atau semasa pasca kemerdekaan RI banyak Negara lain yang datang ke Indonesia hanya untuk belajar dan menuntut ilmu bahkan tidak sedikit tenaga pengajar yang dikirim ke luar negeri misalnya Malaysia, Singapura, dan Negara lainnya. Hal tersebut sudah hampir tidak kita temui bahkan sebaliknya justru banyak warga Negara Indonesia sudah meragukan kualitas pendidikan di Indonesia sehingga banyak pelajar ataupun mahasiswa yang mempercayai Negara Malaysia, Singapura, dan Negara lainnya sebagai wadah menuntut ilmu. Perubahan yang ada sangat signifikan atau bahkan 180 derajat hal ini dibuktikan tidak sedikit pula lembaga pendidikan khususnya non formal yang menggunakan jasa pendidik dari luar Indonesia. Mungkin hal tersebut tidak pernah terpikirkan di benak kita sebagai warga Negara Indonesia. Mengapa hal tesebut dapat terjadi, padahal Negara Indonesia banyak sekali memiliki bibit SDM unggulan di bidang pendidikan. Hal tersebut dicontohkan dengan pembuktian pelajar Indonesia yang justru mendapatkan beberapa medali emas di ajang olimpiade internasional yang dimana pesertanya adalah Negara-negara maju di dunia. Apakah karena Indonesia lebih mementingkan politik dan perekonomianya. Sehingga seperti menganaktirikan dunia pendidikan yang justru jika di kembangkan banyak teknologi-teknologi canggih dihasilkan. Keunggulan SDM kita dibuktikan dengan Tim Olimpiade Komputer Indonesia (TOKI) tahun 2009 yang berhasil membawa dua medali perak dan satu medali perunggu dari ajang internasional Olympiad in Informatics (IOI) di Plovdiv, Bulgaria. Dimana dari empat orang yang dikirim hanya satu yang tidak membawa medali di ajang IOI. Kalau saja SDM tersebut digali lebih dalam mungkin kita dapat menghasilkan teknologi komputer terbaru. Lebih lagi di bidang Sains seperti Fisika misalnya dari lima siswa yang dikirim mengikuti ajang kompetisi fisika dunia semuanya berhasil meraih juara, dengan mempersembahkan empat medali emas dan satu medali perak. Kelima siswa tersebut adalah Christian George Emor, David Geovanni, Kevin Soedyatmiko, Muhammad Sohebul Maromi untuk medali emas, sedangkan peraih medali perak atas nama Ahmad Ataka. Bahkan Muhammad Sohebul Maromi, siswa SMA Negeri 1 Pamekasan, Madura, ini terpilih menjadi duta Indonesia dalam Olimpiade Fisika Internasional (International Physic Olimpiade - IphO) di Kroasia, setelah menjuarai lomba fisika tingkat Asia di Taipeh, Taiwan, 24-29 April 2010. Menurut Hendra Kwee, ketua Pembina tim Olimpiade Fisika Indonesia olimpiade diikuti 376 siswa dari 82 negara. Bayangkan kehebatan pelajar Indonesia dalam bidang Fisika, dapat mengalahkan 81 Negara di dunia, hal ini harus menjadi perhatian publik bahwa Indonesia memiliki banyak bibit unggul yang dapat di eksplor untuk kemajuan bangsa. Tidak hanya Fisika saja yang patut diperhatika, Olimpiade Robot Dunia misalnya bahkan tingkat SMP, Indonesia keluar sebagai juara kedua mengirim tim bernama Creator (Ivy Icasia, Patricia Dissy, Andrea) dan tim Alpha-Rex (Billy Hocker Wistan, Fernando) sebagai juara ketiga, dimana juara pertama di raih tim White Lego dari Korea Selatan. Sungguh sangat menakjubkan bukan terbukti bahwa Indonesia bisa eksis dalam juara olimpiade tingkat internasional. Selain dari tingkat SMP, bahkan tingkat SD pun memberikan kontribusi juara dalam ajang Olimpiade Robot Indonesia walaupun hanya berada pada peringkat lima. Hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia tidak dapat dianggap remeh dalam kualitas pendidikan. Bahkan ada salah satu master pendidikan yang sangat dikenal karena hasil yang diperoleh dan mengharumkan dunia pendidikan Indonesia yaitu Yohanes Surya. Yohanes Surya merupakan penulis produktif untuk bidang Fisika/Matematika. Ada 68 buku sudah ditulis untuk siswa SD sampai SMA. Selain menulis buku, ia juga menulis ratusan artikel Fisika di jurnal ilmiah baik Nasional maupun Internasional. Di luar aktifitasnya, Yohanes Surya berkiprah dalam berbagai organisasi internasional sebagai Board Member of the International Physics Olympiad, dan masih banyak lagi penghargaan dalam keorganisasian. Yohanes Surya adalah guru besar Fisika dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Ia bahkan pernah menjadi Dekan Fakultas Sains dan Matematika Universitas Pelita Harapan, masih banyak lagi jabatan yang bisa dibanggakan. Prestasi-prestasinya sangat mengharumkan nama Bangsa dan dalam mendidik bangsa. Mengharumkan nama bangsa salah satunya dengan memperjuangkan keikutsertaan tim Fisika Indonesia pertama kali dalam Olimpiade Fisika Internasional di Amerika Serikat, dimana dalam kepemimpinannya Indonesia dapat meraih 54 medali emas, 33 perak, dan 42 perunggu dalam berbagai kejuaraan/olimpiade sains/fisika internasional. Bahkan ia memimpin Olimpiade Fisika Asia yang sangat disegani, hal yang paling membanggakan adalah berhasil meraih Absolute Winner dalam International Physics Olympiad di Singapura. Yohanes Surya hanya satu dari anak bangsa Indonesia yang membanggakan dan dapat membuang pernyataan keterpurukan bangsa Indonesia dalam hal pendidikan. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia sepanjang hayat. Setiap manusia memerlukan pendididkan karena dengan pendidikan manusia menjadi tidak terbelakang. Begitu juga terhadap suatu bangsa, suatu bangsa yang maju adalah bangsa yang mementingkan dunia pendidikan. Karena pendidikanlah yang dapat membuat Negara menjadi maju tidak hanya berkembang. Indonesia harus mau belajar dari bangsa lain. Seperti halnya sebagian Negara di Afrika dijajah karena kurangnya sumber daya manusia terdidik, sebaliknya lihatlah Negara Jepang dimana sumber daya alamnya sangat kurang sedangkan kualitas sumber daya manusia yang tinggi sehingga Negara jepang menjadi Negara yang disegani oleh Negara-negara tetangga atau bahkan di dunia. Indonesia sudah memiliki modal besar terhadap kekayaan alam yang dimiliki tetapi kurangnya pengetahuan sehingga bangsa Indonesia baru memanfaatkan sedikit kekayaan alam yang dimiliki. Hal tersebut terjadi karena kurangnya sumber daya manusia terdidik bahkan tidak sedikit hal tersebut dimanfaatkan oleh Negara-negara yang maju untuk menggali potensi kekayaan alam di Indonesia. Seharusnya hal tersebut harus menjadi perhatian yang sangat besar bagi pemerintah agar mementingkan segmen pendidikan bangsa sehingga dapat menggali kualitas sumber daya manusia yang masih belum tergali atau mengayomi bibit unggul yang sudah dimiliki agar tidak juga dimanfaatkan oleh Negara lain atau dalam hal ini dibiayai untuk kemajuaan Negara lain tersebut. Tidak lama lagi pasar globalisasi Asia akan dibuka, dimana setiap bangsa berhak bekerja di Negara lain se-Asia. Ketidaksiapan sumber daya manusia yang berkualitas sangat ditakutkan dapat berkompetisi di Negara lain atau bahkan Negara Indonesia sendiri. Bayangkan mungkin 2 atau beberapa tahun kedepan banyak warga Negara maju misalnya seperti Jepang, Singapura bahkan tetangga kita Malaysia datang ke Indonesia dengan bekal yang cukup sehingga memungkinkan warga Negara Maju tersebut mendominasi lapangan pekerjaan di Indonesia. Hal tersebut mungkin belum terasakan oleh kita saat ini. Sekarang saja banyak warga terdidik dalam hal ini sarjana belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mungkin kita sebagai warga Negara Indonesia tidak menyadari banyaknya perusahaan besar di Indonesia adalah kepunyaan bangsa lain atau bisa kita lihat belum saja dimulai pasar globalisasi sudah banyak warga Negara lain seperti China, German, Jepang, Afrika, India, Malaysia, Singapura dan lainnya menetap atau bahkan membuka usaha baik besar maupun kecil di Indonesia. Apalagi jika warga asing ikut menjadi kepegawaian instansi atau perusahaan di Indonesia nanti. Kekhawatiran itu perlu dibahas karena hal tersebut mungkin saja tidak mengancam warga melainkan bangsa Indonesia itu sendiri. Tidak menutup kemungkinan bahwa kejadian 65 tahu lalu atau penjajahan terulang kembali karena kualitas manusia tidak menunjang. Di awal kita telah menyinggung bahwa kita memiliki banyak bibit unggul atau bahkan Negara Indonesia tidak luput menjuarai ajang-ajang Olimpiade Internasional dalam berbagai bidang yang kalau saja digali dapat mengubah kekhawatiran menjadi kesiapan yang matang menghadapi pasar globalisasi. Apakah sebenarnya penghambat kualitas sumber daya manusia khususnya pendidikan adalah perekonomian. Sepertinya kalau ditinjau ulang kembali, bangsa Indonesia tidak terlalu lemah dalam ekonomi. Dilihat dari anggaran belanja Negara, bidang pendidikan mendapatkan 20 % dari anggaran tersebut. Dana tersebut juga tidak terlalu kecil karena Negara-negara lain memberikan fasilitas yang lebih dari itu. Kemanakah dana 80% tersebut. 20% dana Anggaran Pengeluaran Belanja Negara mencapai angka 209 triliun rupiah atau tepatnya adalah Rp.209.537.587.275.000,00 (dua ratus sembilan triliun lima ratus tiga puluh tujuh miliar lima ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Cukup takjub membaca digit angka buat pendidikan tetapi yang sedikit menjadi pertanyaan apakah itu semua cukup dan apakah uang tersebut telah sampai kepada warga Negara Indonesia. Biarkanlah masing-masing kita yang menjawabnya. Kalau seandainya cukup, lantas apakah faktor lain yang mengambat pendidikan di Indonesia. Apakah karena kurangnya perhatian pemerintah sehingga banyak warga Negara Indonesia yang kurang mementingkan pendidikan. Kalau saja kita lihat kembali tentang keramaian di pemerintahan cendrung pada dunia perpolitikan, yang tidak akan pernah habis-habisnya atau bahkan justru menghabiskan uang Negara saja. Sedangkan warga hanya menjadi penonton setia. Sehingga baik dari pemerintahan juga warga lupa akan pentingnya pendidikan. Mengapa Negara lain lebih mementingkan pendidikan dibandingkan politki atau ekonomi. Seharusnya kita semua perah memiliki pertanyaan seperti itu. Negara lain mementingkan pendidikan karena dengan pendidikan sebenarnya banyak bermunculan ide-ide berilian dalam dunia politik dan juga akan mengangkat perekonomian dengan sendirinya. Indonesia telah memiliki sumber daya alam yang banyak terpendam, buktinya dengan kemenangan kita dalam Olimpiade baik di bidang teknologi, ilmuan dan Olahraga yang harusnya digali lebih dalam karena kalau saja para teknolog dan saintis kita diperhatikan dan dikembangkan akan banyak menimbulkan dampak positif bagi warga Negara Indonesia atau bagi bangsa Indonesia itu sendiri. Begitu juga peranan pemerintahan agar cepat dan tepat memperdulikan atau memperbaiki dunia pendidikan sebagai kesiapan bangsa menghadapi dunia. Merupakan tanggung jawab bersama terhadap kemajuan pendidikan agar setiap warga mendapatkan pekerjaan yang layak dan perekonomian bangsa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Serta kita semua siap dan tanggap menghadapi tantangan dunia serta disegani oleh semua Negara karena kualitas sumber daya alam dan insya Allah sumber daya manusia.
KUALITAS SDM YANG DI BUTUHKAN SAAT INI
Indonesia adalah sebuah negara dengan pendapatan rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, kualitas SDM yang kurang rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan dengan norma global. Atau biasa disebut negara berkembang. Diantara ciri-ciri yang telah disebutkan, disini akan dibahas mengenai salah satu ciri, yaitu Kualitas SDM di Indonesia dan bagaimana kualitas SDM yang dibutuhkan saat ini. Indonesia merupakan sebuah negara yang memliki jumlah penduduk sebanyak 237,556,363 orang berdasarkan hasil survei sementara 2010 menurut badan pusat statistik, dan merupakan negara dengan penduduk terbanyak ke-4 setelah Amerika Serikat menurut wikipedia. Indonesia dengan jumlah penduduk yang banyak tersebut saat ini belum mampu untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju ataupun kaya, tetapi dengan jumlah penduduk sebanyak 237,556,363 jiwa tersebut Indonesia belum memiliki kualitas SDM yang cukup memadai untuk bersaing dengan negara-negara lain. Dari bidang pendidikan misalnya, seperti dikutip daribataviase.co.id, dari sekitar 160.000 dosen yang ada di Indonesia, hampir 54 persennya masih belum S-2 dan S-3. Sementara guru, dari 2,7 juta guru, 1,5 juta di antaranya belum S-1. Dari segi pengajar pun Indonesia masih seperti ini, mungkin bisa dibilang kekurangan tenaga ahli, lalu bagaimana dengan siswa atau mahasiswanya? Lagi, dikutip dari bataviase, Nizam menuturkan, harus diakui bahwa daya saing Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lainnya di dunia bahkan di Asia Tenggara. Berdasarkan data dari Global Competitiveness Report di tahun 2008, Indonesia berada di peringkat 55 sementara di tahun 2005 di peringkat 69. "Jauh di bawah Singapura, Malaysia, Cina, dan Thailand. Singapura berada di peringkat ke-5 sementara Malaysia di peringkat 21 di tahun 2008," Ini sudah membuktikan bagaimana ketertinggalan Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya. Ketertinggalan ini bukan merupakan hal yang lantas begitu saja dibiarkan. Ketertinggalan ini harus membuat kita sebagai warga negara Indonesia harus berfikir untuk bisa bangkit dari ketertinggalan ini. Semua upaya harus diusahakan untuk memaksimalkan kualitas SDM di Indonesia. upaya yang bisa meningkatkan kualitas SDM di Indonesia : a. Gratiskan pendidikan sampai jenjang minimal SMA bagi penduduk miskin dan tidak mampu. b. Tingkatkan kualitas pengajar. Misalnya guru SD harus berpendidikan minimal S1, Dosen minimal S2. c. Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan. d. Ringankan biaya pendidikan bagi semua kalangan. Upaya-upaya tersebut tidak akan berjalan jika kualitas dari aparat penegak hukmnya tidak ditingkatkan. Terbukti sampai sekarang masih banyak kasus-kasus korupsi bertebaran di berbagai daerah di Indonesia Seiring berkembangnya teknologi, kualitas SDM yang dibutuhkan pun pasti akan berkembang. Kebutuhan akan kualitas SDM yang baik pasti terus dicari oleh organisasi-organisasi atau perusahaan untuk kinerjanya yang lebih baik. Sebuah organisasi tidak akan menginginkan kualitas SDM yang itu-itu saja, artinya sebuah organisasi pasti akan selalu membutuhkan SDM yang baru. Berikut adalah beberapa kualitas SDM yang dibutuhkan saat ini : 1. Manusia yang dapat berkembang ilmu dan pengetahuannya seiring berkembangnya zaman. 2. Manusia yang mengerti tentang kedisiplinan dalam segala hal. 3. Manusia yang terampil, tekun dan dapat bersaing secara sehat. 4. dan masih banyak lagi
SDM Indonesia dalam Persaingan Global
Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan
SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita
abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:
Pertama adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada
krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya
sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat
terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia
masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan
kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.
Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan
kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus
meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja
yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di
Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia
lebih dari 300.000 orang.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena
penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim
pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh
produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil
tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan
manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini
merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan ekonomi
global.
Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu.
Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan -- tidak lebih dari 12% -- pada peme-rintahan di era reformasi. Ini
menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah
saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan
saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia
secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan
SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional.
Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang
menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan
kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum
sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan
mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih
disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan
perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan
tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya
efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan
internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World
Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8),
Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk
berikut: Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi
lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang
memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam
bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan
sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan
dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari mancanegara.
Tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti
penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional dan\atau buruh
diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
Jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di
dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi
yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai
contoh KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di mana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia --baik
yang berdomisili di kota maupun di desa-- menuju pada selera global.
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan
nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin ketat dan fair. Bahkan, transaksi
menjadi semakin cepat karena "less papers/documents" dalam perdagangan, tetapi dapat mempergunakan jaringan
teknologi telekomunikasi yang semakin canggih.
Dengan kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada
meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara
(cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital flows),
pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Sehingga secara sederhana
dapat dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah satu kekuatan yang memberikan
pengaruh terhadap bangsa, masyarakat, kehidupan manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate di
Indonesia. Kekuatan ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan
strategi usaha serta melandaskan strategi manajemennya dengan basis entrepreneurship, cost efficiency dan competitive
advantages.
Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan.
Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia,
tidak akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar
domestik. Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor
yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun
keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian
berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi
dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan kerja dari bisnis corporate.
Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu
tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal.
Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan
dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan
merupakan kegiatan investasi di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun
pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun
sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi,
penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM
semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang
harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi
dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal
ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi
pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak
diimbangi dengan tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan.
Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada
era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga kerja yang ada
cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan
perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya
kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi.
Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya
memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang
mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal ini terjadi karena visi SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan
belum sanggup menciptakan pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang belum kondusif untuk itu. Di
sinilah dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang
diciptakan pemerintah.
Sementara pada pascareformasi belum ada proses egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh struktur bangsa yang
dapat memperkuat kemandirian bang sa. Pada era reformasi yang terjadi barulah relatif tercipta reformasi politik dan
belum terjadi reformasi ekonomi yang substansial terutama dalam memecahkan problem struktural seperti telah
diuraikan di atas. Sistem politik multipartai yang telah terjadi dewasa ini justru menciptakan oligarki partai untuk
mempertahankan kekuasaan. Pemilu 1999 yang konon merupakan pemilu paling demokratis telah menciptakan oligarki
politik dan ekonomi. Oligarki ini justru bisa menjadi alasan mengelak terhadap pertanggungjawaban setiap kegagalan
pembangunan.
Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan
terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain
Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya sekarang adalah
bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa?
Bukankah harapannya dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO masalah kemiskinan dan
pengangguran akan terpecahkan.
Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta
akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan
sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya
masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin
menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan link and match mendapat tempat
sebagai sebuah strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan. Namun sayangnya ide link
and match yang tujuannya untuk menghubungkan kebutuhan tenaga kerja dengan dunia pendidikan belum ditunjang oleh
kualitas kurikulum sekolah yang memadai untuk menciptakan lulusan yang siap pakai. Yang lebih penting dalam hal ini
adalah strategi pembangunan dan industrialisasi secara makro yang seharusnya berbasis sumberdaya yang dimiliki,
yakni kayanya sumberdaya alam (SDA). Kalau strategi ini tidak diciptakan maka yang akan terjadi adalah proses
pengulangan kegagalan karena terjebak berkelanjutannya ketergantungan kepada utang luar negeri, teknologi, dan
manajemen asing. Sebab SDM yang diciptakan dalam kerangka mikro hanya semakin memperkuat proses
ketergantungan tersebut.
Bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA, memiliki posisi wilayah yang strategis (geo strategis), yakni
sebagai negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luas total wilayah; namun tidak mampu mengembalikan manfaat
sumber kekayaan yang dimiliki kepada rakyat. Hal ini karena strategi pembangunan yang diciptakan tidak membangkitkan
local genuin. Yang terjadi adalah sumber kekayaan alam Indonesia semakin mendalam dikuasai oleh asing. Sebab
meskipun andaikata bangsa ini juga telah mampu menciptakan SDM yang kualifaid terhadap semua level IPTEK, namun
apabila kebijakan ekonomi yang diciptakan tidak berbasis pada sumberdaya yang dimiliki (resources base), maka
ketergantungan ke luar akan tetap berlanjut dan semakin dalam.
Oleh karena itu harus ada shifting paradimn, agar proses pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai
keahlian yang bisa mengolah SDA dan bisa semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya visi tersebut pun
terjadi di berbagai daerah, maka harus ada koreksi total kebijakan pembangunan di tingkat makro dengan berbasiskan
kepada pluralitas daerah. Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan kebutuhan
dan penguatan masyarakat lokal. Karena untuk apa SDM diciptakan kalau hanya akan menjadi perpanjangan sistem
kapitalisme global dengan mengorbankan kepentingan lokal dan nasional.
Oleh: Didin S. Damanhuri, Guru Besar Ekonomi IPB dan Pengamat Ekonomi
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0306/13/opi01.html
Tantangan SDM Indonesia Di Era Globalisasi Era Global saat ini sungguh syarat dengan berbagai persaingan yang begitu ketat dari berbagai bidang didalamnya. Persaingan itu tidak lepas dari semua unsur kebutuhan ummat manusia yang selalu berkembang setiap detiknya. Disini sangatlah jelas harus adanya upaya reformasi untuk sebuah perubahan yang dapat menjawab semua tantangan perkembangan era global, terlebih bagi Indonesia wajib untuk melakukannya. Era Glogal abad 21 ini sungguh memiliki banyak tantangan yang harus siap dan sigap dilakukan oleh segenap umat manusia untuk bisa berbenah diri dalam peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) didalamnya, termasuk pula ada upaya meningkatan kualitas dan kuantitas ekonomi.
Sumber Daya Manusia Di Tengah Persaingan Global
Sumber Daya Manusia (SDM) Dan Ekonominya Rakyat Indonesia SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu: 1). Ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. 2). Tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang. Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa. Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan — tidak lebih dari 12% — pada peme-rintahan di era reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional. Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.
Dampak IPTEK Terhadap SDM Indonesia Terkait dengan kondisi sumber daya manusia Indonesia yaitu adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta. Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang. Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM. Rendahnya SDM Indonesia diakibatkan kurangnya penguasaan IPTEK, karena sikap mental dan penguasaan IPTEK yang dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan. Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Sementara itu pengaruh IPTEK terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam persaingan global dewasa ini meliputi berbagai aspek dan merubah segenap tatanan masyarakat. Aspek-aspek yang dipengaruhi, adalah sebagai berikut : 1. Dampak yang ditimbulkan oleh teknologi dalam era globalisasi. Khususnya teknologi informasi dan komunikasi, sangat luas. Teknologi ini dapat menghilangkan batas geografis pada tingkat negara maupun dunia. 2. Aspek Ekonomi. Dengan adanya IPTEK, maka SDM Indonesia akan semakin meningkat dengan pengetahuan-pengetahuan dari teknologi tersebut. Dengan kemajuan SDM ini, tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan ekonomi di Indonesia. Berkaitan dengan pasar global dwasa ini, tidaklah mungkin jika suatu negara dengan tingkat SDM rendah dapat bersaing, untuk itulah penguasaan IPTEK sangat penting sekali untuk dikuasai. Selain itu, tidak dipungkiri globalisasi telah menimbulkan pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat di masa kini akibat pengaruh negatif dari globalisasi. 3.Aspek Sosial Budaya. Globalisasi juga menyentuh pada hal-hal yang mendasar pada kehidupan manusia, antara lain adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM), melestarikan lingkungan hidup serta berbagai hal yang menjanjikan kemudahan hidup yang lebih nyaman, efisien dan security pribadi yang menjangkau masa depan, karena didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak yang timbul diakibatkannya ikatan-ikatan tradisional yang kaku, atau dianggap tidak atau kurang logis dan membosankan. Akibat nyata yang timbul adalah timbulnya fenomena-fenomena paradoksal yang muaranya cenderung dapat menggeser paham kebangsaan/nasionalisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan meningkatnya tanggapan masyarakat atas kasus-kasus yang terjadi dinilai dengan didasarkan norma-norma kemanusiaan atau norma-norma sosial yang berlaku secara umum (Universal internasional). Dari uraian diatas mengenai IPTEK dalam upaya peningkatan SDM Indonesia di era globalisasi ini, sudah jelas bahwa dengan adanya IPTEK sudah barang tentu menunjang sekali dalam kaitannya meningkatkan kualitas SDM kita. Dengan meningkatnya kualitas SDM, maka Indonesia akan lebih siap menghadapi era globalisasi dewasa ini. Perlu sekali diperhatikan, bahwasannya dengan adanya IPTEK dalam era globalisasi ini, tidak dipungkiri juga akan menimbulkan dampak yang negatif dari berbagai aspek, baik aspek ekonomi, budaya maupun imformasi dan komunikasi, untuk itulah filtrasi sangat diperlukan sekali dalam penyerapan IPTEK, sehingga dampak negatif IPTEK dalam upaya peningkatan SDM dapat ditekan seminimal mungkin. (Disari dari berbagai sumber / dbs : Syaifud Adidharta).
nara sumber : http://edukasi.kompasiana.com
SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita
abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:
Pertama adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada
krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya
sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat
terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia
masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan
kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.
Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan
kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus
meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja
yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di
Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia
lebih dari 300.000 orang.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena
penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim
pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh
produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil
tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan
manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini
merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan ekonomi
global.
Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu.
Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan -- tidak lebih dari 12% -- pada peme-rintahan di era reformasi. Ini
menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah
saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan
saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia
secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan
SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional.
Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang
menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan
kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum
sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan
mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih
disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan
perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan
tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya
efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan
internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World
Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8),
Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk
berikut: Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi
lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang
memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam
bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan
sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan
dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari mancanegara.
Tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti
penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional dan\atau buruh
diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
Jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di
dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi
yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai
contoh KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di mana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia --baik
yang berdomisili di kota maupun di desa-- menuju pada selera global.
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan
nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin ketat dan fair. Bahkan, transaksi
menjadi semakin cepat karena "less papers/documents" dalam perdagangan, tetapi dapat mempergunakan jaringan
teknologi telekomunikasi yang semakin canggih.
Dengan kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada
meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara
(cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital flows),
pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Sehingga secara sederhana
dapat dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah satu kekuatan yang memberikan
pengaruh terhadap bangsa, masyarakat, kehidupan manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate di
Indonesia. Kekuatan ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan
strategi usaha serta melandaskan strategi manajemennya dengan basis entrepreneurship, cost efficiency dan competitive
advantages.
Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan.
Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia,
tidak akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar
domestik. Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor
yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun
keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian
berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi
dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan kerja dari bisnis corporate.
Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu
tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal.
Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan
dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan
merupakan kegiatan investasi di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun
pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun
sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi,
penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM
semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang
harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi
dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal
ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi
pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak
diimbangi dengan tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan.
Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada
era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga kerja yang ada
cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan
perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya
kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi.
Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya
memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang
mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal ini terjadi karena visi SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan
belum sanggup menciptakan pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang belum kondusif untuk itu. Di
sinilah dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang
diciptakan pemerintah.
Sementara pada pascareformasi belum ada proses egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh struktur bangsa yang
dapat memperkuat kemandirian bang sa. Pada era reformasi yang terjadi barulah relatif tercipta reformasi politik dan
belum terjadi reformasi ekonomi yang substansial terutama dalam memecahkan problem struktural seperti telah
diuraikan di atas. Sistem politik multipartai yang telah terjadi dewasa ini justru menciptakan oligarki partai untuk
mempertahankan kekuasaan. Pemilu 1999 yang konon merupakan pemilu paling demokratis telah menciptakan oligarki
politik dan ekonomi. Oligarki ini justru bisa menjadi alasan mengelak terhadap pertanggungjawaban setiap kegagalan
pembangunan.
Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan
terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain
Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya sekarang adalah
bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa?
Bukankah harapannya dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO masalah kemiskinan dan
pengangguran akan terpecahkan.
Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta
akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan
sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya
masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin
menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan link and match mendapat tempat
sebagai sebuah strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan. Namun sayangnya ide link
and match yang tujuannya untuk menghubungkan kebutuhan tenaga kerja dengan dunia pendidikan belum ditunjang oleh
kualitas kurikulum sekolah yang memadai untuk menciptakan lulusan yang siap pakai. Yang lebih penting dalam hal ini
adalah strategi pembangunan dan industrialisasi secara makro yang seharusnya berbasis sumberdaya yang dimiliki,
yakni kayanya sumberdaya alam (SDA). Kalau strategi ini tidak diciptakan maka yang akan terjadi adalah proses
pengulangan kegagalan karena terjebak berkelanjutannya ketergantungan kepada utang luar negeri, teknologi, dan
manajemen asing. Sebab SDM yang diciptakan dalam kerangka mikro hanya semakin memperkuat proses
ketergantungan tersebut.
Bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA, memiliki posisi wilayah yang strategis (geo strategis), yakni
sebagai negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luas total wilayah; namun tidak mampu mengembalikan manfaat
sumber kekayaan yang dimiliki kepada rakyat. Hal ini karena strategi pembangunan yang diciptakan tidak membangkitkan
local genuin. Yang terjadi adalah sumber kekayaan alam Indonesia semakin mendalam dikuasai oleh asing. Sebab
meskipun andaikata bangsa ini juga telah mampu menciptakan SDM yang kualifaid terhadap semua level IPTEK, namun
apabila kebijakan ekonomi yang diciptakan tidak berbasis pada sumberdaya yang dimiliki (resources base), maka
ketergantungan ke luar akan tetap berlanjut dan semakin dalam.
Oleh karena itu harus ada shifting paradimn, agar proses pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai
keahlian yang bisa mengolah SDA dan bisa semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya visi tersebut pun
terjadi di berbagai daerah, maka harus ada koreksi total kebijakan pembangunan di tingkat makro dengan berbasiskan
kepada pluralitas daerah. Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan kebutuhan
dan penguatan masyarakat lokal. Karena untuk apa SDM diciptakan kalau hanya akan menjadi perpanjangan sistem
kapitalisme global dengan mengorbankan kepentingan lokal dan nasional.
Oleh: Didin S. Damanhuri, Guru Besar Ekonomi IPB dan Pengamat Ekonomi
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0306/13/opi01.html
Sumber Daya Manusia (SDM) Dan Ekonominya Rakyat Indonesia